Tuesday, July 31, 2012

Revolusi Jamban Desa Du




Ilustrasi: Sebuah jamban putih dipamerkan sebagai bentuk sindiran bagi DPR yang mengadakan proyek renovasi toilet Rp 2 miliar.

Kupang, Indonesia (News Today) - Rumah Yanuarus (25) di Desa Du, Kabupaten Sikka, Nusa Tenggara Timur, berdinding bilah bambu, beratap rumbai, dan berlantai tanah. Cuma ada tiga ruangan, sebuah ruang tidur bagi Yanuarus, istri dan bayinya yang berusia beberapa bulan, dapur kecil, dan ruang berisi dipan untuk menerima tamu. Tak banyak barang elektronik di rumah itu kecuali beberapa bola lampu.

Namun, dengan bangga Yanuarus menunjukkan tempat tinggalnya, tepatnya sebuah gubuk di belakang rumah berisi: jamban! Rumah pasangan baru menikah itu boleh jadi sederhana, tetapi sudah memiliki peturasan sendiri. Begitu menikah dan membangun rumah sendiri, Yanuarus pun membuat kamar mandi dengan jamban cemplung sederhana berplester semen .

"Saya hanya mampu buat jamban cemplung. Yang penting sudah ada jamban dan ditutup sesuai anjuran," ujar Yanuarus beberapa waktu lalu. Tersedia pula keran cuci tangan terbuat dari jeriken plastik yang dilubangi bagian bawahnya dan disumpal agar air hanya mengucur saat dibutuhkan.

Kesadaran Yanuarus membuat kamar mandi dengan jamban tak lepas dari aturan hidup di Desa Du, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka. Keharusan memiliki jamban tertuang dalam Peraturan Desa Du Kecamatan Lela Kabupaten Sikka Nomor 03 Tahun 2008 tentang Pelayanan Kesehatan. Tak main-main, pasal 3 aturan desa itu, mendenda keluarga yang tak punya jamban Rp 50.000 . Sedangkan, tiadanya kamar mandi disanksi Rp 25.000.

Perbaikan sanitasi

Perdes jamban itu bagian dari upaya perbaikan sanitasi yang masih menjadi masalah besar di negeri ini. Tidak mudah mengubah warga untuk membuang kotoran pada tempatnya. Di Nusa Tenggara Timur, misalnya, masih 21, 6 persen keluarga tidak menggunakan fasilitas tempat buang air besar atau BAB menurut hasil Riset Kesehatan Dasar 2010. Sungai, danau, dan kebun menjadi tempat pembuangan akhir tinja. Kebiasaan itu dapat menyebarkan penyakit saluran pencernaan dan pernafasan.

Kalaupun telah mempunyai fasilitas pembuangan BAB, belum tentu layak. Rumah tangga yang mempunyai tempat pembuangan tinja layak sesuai laporan Tujuan Pembangunan Milenium/MDGs sebesar 55,5 persen. Di desa malah lebih kecil, hanya 38,5 persen.

Perubahan perilaku butuh dukungan dan waktu panjang, termasuk di Desa Du. Kepala Desa Du, Yoseph Marianus mengisahkan, sejak berpisah secara administratif dari desa induknya, Sikka, pada tahun 2002, Desa Du berupaya mengatur diri agar berubah menjadi desa sehat di tengah segala keterbatasannya. "Awalnya, sekitar 70 persen keluarga tidak mempunyai jamban. Untuk buang air besar, mereka mencari tempat aman seperti di pingir sungai atau di dekat pohon," ujar Yoseph.

Begitu desa itu berpisah dengan Desa Sikka, aparat baru desa mewajibkan warga mempunyai jamban sendiri agar tidak membuang air besar sembarangan. Dalam waktu satu tahun, situasi berbalik, sekitar 70 persen keluarga punya jamban. "Walaupun masih jamban cemplung dan belum ditutup. Yang penting kotoran sudah terkumpul di satu lubang," ujar Yoseph.

Masih belum puas, aparat desa membuat peraturan desa agar seluruh warga punya jamban. Hasilnya, dari 120 rumah di desa itu, hanya tersisa 12 rumah yang tak ada jambannya. "Umumnya keluarga baru dan mereka menumpang kepada tetangga atau keluarga dekat untuk buang air," ujar Kepala Desa Du, Yoseph Marianus.

Urusan jamban belum selesai. Sanitarian dari puskesmas dan aparat desa beranggapan jamban cemplung belum memenuhi persyaratan kesehatan sehingga mereka mendorong masyarakat menutup lubang jamban lubang cemplung dengan papan. Itu supaya vektor seperti lalat dan kecoak tidak keluar masuk, hinggap, dan menyebar penyakit. "Warga yang sudah mampu didorong pula mengubah jamban cemplung menjadi jamban leher angsa yang lebih memenuhi persyaratan kesehatan," ujar Sanitarian dari Puskesmas Nanga, Magdalena Leing.

Upaya warga desa itu didukung pula dengan adanya pipanisasi air bersih sehingga lebih dekat mendapatkan air bersih. Mereka juga mendapat bantuan teknis pembangunan jamban murah dan sehat dari lembaga swadaya masyarakat seperti Dian Desa dan ilmu membuat wadah pencuci tangan sederhana dan advokasi akan pentingnya hidup sehat dari Wahana Visi Bangsa.

Desa bersih, penyakit enyah

Kebersihan lingkungan pun tak luput dari intaian aturan Desa Du. Setiap keluarga diwajibkan memiliki tempat sampah atau disanksi Rp 15.000 dan tidak mendapat jatah beras miskin. Di desa itu beras miskin dibagi sama rata ke setiap warga. Warga desa pun diwajibkan bekerja bakti bersih desa setiap hari Jumat sesuai Peraturan Desa Du Nomor 11 Tahun 2005 tentang Keterlibatan Seluruh Penduduk Dewasa Dalam Kegiatan Gotong-Royong. Mereka yang tidak mau kerja bakti disanksi Rp 10.000. Hanya saat sakit dan sedang ada kedukaan mereka diizinkan tidak ikut gotong royong. Jika tengah bepergian? Warga itu harus menyelesaikan pekerjaan bagiannya sekembalinya ke desa.

Yanuarus bercerita, sudah menjadi kebiasaan warga bekerja bakti setiap Jumat. " Pernah saya tidak ikut kerja bakti. Besoknya, saya dipanggil 'bapa desa' (kepala desa-red)," ujarnya. Peraturan desa itu tercermin di jalanan kecil Desa Du yang bersih, tempat sampah dan wadah cuci tangan sederhana di rumah-rumah, serta gubuk jamban di belakang rumah.

Sanitarian dari Puskesmas Nanga, Magdalena Leing mengatakan, seiring membaiknya lingkungan, status kesehatan warga meningkat . " Lima tahun terakhir tak ada kasus demam berdarah dengue di Desa Du, padahal di desa lain selalu ada kasus. Penyakit diare pun paling kecil kasusnya di Desa Du," ujarnya.

Kesehatan yang membaik membuat warga kian mudah diajak memelihara lingkungan dan hidup yang sehat. Kami buat jamban dan kerja bakti karena merasakan manfaatnya. "Awalnya, masyarakat ngomel , harus kerja bakti terus. Tetapi, lama-lama mengerti," ujar salah seorang warga desa, Maria Bunga Lince (34) dengan semangat empat lima.

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook