Tuesday, July 31, 2012

Manusia Purba Masuk Mal




Manusia purba masuk mal.

Jakarta, Indonesia (News Today) - Sebuah tengkorak manusia tampak berukuran tidak jauh berbeda dengan telapak tangan orang dewasa. Deretan giginya masih utuh, hanya ada beberapa bagian saja yang hilang. Di bagian lain, tengkorak tadi disusun bersama dengan tulang lengan, tulang kaki, tulang jari, dan tulang pinggul hingga membentuk kesatuan utuh.

Susunan lengkap itu menggambarkan manusia dalam ukuran yang lebih kecil dari manusia biasa. Dari keterangan tertulis pada foto tersebut, tinggi kerangka manusia dewasa itu hanya 100 sentimeter, jauh lebih rendah dari manusia dewasa sekarang yang tingginya rata-rata minimal 150 sentimeter. Itulah manusia "hobbit" atau manusia Flores (Homo floresiensis) yang ditemukan di situs Leang Bua, di Desa Liangbua, Kecamatan Ruteng, Kabupaten Manggarai, Nusa Tenggara Timur.

Berat manusia kerdil ini tidak lebih dari 30 kilogram. Meski hanya bisa dinikmati melalui foto, keberadaan manusia Flores itu menarik beberapa pengunjung Mataram Mal beberapa waktu lalu. Seorang ibu yang masih menenteng plastik belanjaan, bersama dua anak remajanya, asyik membaca satu persatu keterangan yang dipasang pada papan pameran.

"Baru kali ini saya tahu ada nenek moyang kita yang ukurannya kerdil," ujarnya. Ia lalu bergeser ke papan lain untuk melihat foto-foto manusia purba dari Sangiran, Jawa Tengah. Di sudut lain, dipajang foto benda peninggalan masyarakat purba di desa Bawomataluo, Kecamatan Teluk Dalam, Kabupaten Nias Selatan. Foto-foto itu berupa ornamen berbentuk kapal dan manusia yang menghiasi arsitektur pemukiman tradisional yang dibangun abad 18.

Benda dan foto-foto cagar budaya tersebut didatangkan oleh Pemerintah Provinsi NTB dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ke pusat perbelanjaan supaya dekat dengan masyarakat. Harapannya, masyarakat lebih mengenal kekayaan cagar budaya di Indonesia. dan mau berkunjung ke lokasi cagar budaya untuk meramaikan pariwisata. Geliat pariwisata ini nantinya bisa menghidupi warga lokal yang tinggal di sekitar kawasan cagar budaya.

"Jika warga setempat bisa mendapat keuntungan ekonomi dari pariwisata cagar budaya, mereka secara alamiah akan ikut memelihara dan merawat kawasan cagar budaya karena dianggap sebagai sumber penghidupan," kata Surya Helmi, Direktur Pelestarian Cagar Budaya dan Permuseuman, Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud).

Pameran Rekaman Jejak Budaya Bangsaku yang digelar di Mataram Mal itu tidak hanya menampilkan foto, tetapi juga memamerkan langsung beberapa benda cagar budaya dari Museum Negeri NTB dan Museum Negeri Jawa Timur, seperti batu prasasti, keramik China, jubah, tombak, arca dari masa Hindu Buddha dan lain-lain. Ada pula replika hasil penggalian arkeologi berupa kerangka manusia Flores dalam kotak lengkap dengan tanah.

Partisipasi masyarakat untuk ikut memelihara situs cagar budaya perlu ditingkatkan. Meskipun sebagian warga sudah mulai bergeliat merawat situs, namun hal itu hanya terjadi pada situs-situs yang ramai dikunjungi wisatawan. Di situs bekas peninggalan kerajaan Majapahit di Trowulan, Jawa Timur, misalnya, setiap minggu warga mengadakan berbagai macam kegiatan seperti ruwatan keselamatan, pentas seni tradisi dan lain-lain untuk menarik wisatawan. Hal serupa dilakukan masyarakat di sekitar situs percandian seperti candi Penataran dan candi Jawi.

Partisipasi masyarakat, menurut Kepala Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala Jawa Timur, Aris Sofyani, mendongkrak jumlah wisatawan yang datang. Pada tahun 2011 tercatat sekitar 8 juta wisatawan datang ke Jawa Timur. Setiap tahun jumlah wisatawan meningkat sekitar 1 juta orang. "Obyek wisata budaya ini membuat ekonomi kreatif warga berkembang sehingga mereka lebih mudah diajak bekerjasama untuk melestarikan situs," kata Aris.

Kondisi berbeda dialami masjid kuno Bayan Beleq di desa Bayan Kabupaten Lombok Utara dan masjid kuno Rambitan di desa Rambitan Kabupaten Lombok Tengah. Masjid yang didirikan pada awal abad 17 ini dalam kondisi kurang terawat. Masjid Bayan Beleq sebagian atapnya yang terbuat dari ijuk dan bambu sebagian sudah rusak. Sementara di masjid Rambitan, beberapa bagian benda peninggalan seperti bedug, Al Qur'an kuno serta bangunan kecil tempat imam rusak dimakan usia.

Perawatan masjid Rambitan hanya mengandalkan Nur Alim (24) salah seorang jamaah masjid. Alim yang seharusnya mendapat honor Rp 550.000 per bulan ini sudah dua tahun tidak menerima honor dari pemerintah daerah. Contoh kecil ini membuktikan bahwa pemerintah daerah sendiri terbukti tidak peduli dengan pelestarian situs.

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook