Saturday, February 11, 2012

Nasib Saiful "Terpenjara" Ijazah




Jakarta, Indonesia (News Today) - Sungguh ironis yang dialami Saiful Anwar (19). Sudah dua kali dia memperoleh panggilan kerja dari pabrik PT Astra sebagai tenaga mekanik, tetapi selalu gagal mendapatkan pekerjaan itu.

Dia terganjal ijazah yang sampai saat ini belum bisa diambil di Sekolah Menengah Kejuruan Negeri 36, Cilincing, Jakarta Utara, tempatnya menempuh pendidikan terakhir.

”Sekarang, Saiful lagi dibawa saudaranya cari kerjaan jadi juru parkir di kawasan Kelapa Gading,” kata ibunya, Carini (36), Selasa (7/2/2012).

Menurut Carini, ijazah Saiful belum bisa diambil karena masih menunggak biaya pendidikan Rp 4.890.000. Jumlah itu terdiri dari sumbangan pembinaan pendidikan (SPP) Rp 165.000 per bulan yang belum dibayar selama satu tahun ditambah tunggakan uang gedung lebih dari Rp 2 juta dan tunggakan lain, seperti uang seragam praktikum.

Selama menempuh pendidikan di SMK Negeri 36, Saiful pernah memperoleh beasiswa pendidikan siswa miskin. Dari beasiswa itu, dia bisa membayar SPP setiap bulan di kelas I dan II. Namun, saat di kelas III, Saiful tak lagi memperoleh beasiswa. Sementara itu, penghasilan ayahnya, Karto (37), dari berdagang ikan pindang hanya sekitar Rp 40.000 per hari.

Kehidupan keluarga Carini memang tergolong miskin. Untuk menjangkau rumahnya di kawasan Kalibaru, Cilincing, Jakarta Utara, harus melalui beberapa gang sempit. Bahkan, perjalanan ke rumahnya harus melalui dapur tetangga.

Rumahnya terbagi atas tiga ruangan dengan luas sekitar 20 meter persegi. Ruang depan digunakan sebagai tempat belajar adik Saiful, Evi Noviana (17), yang kini duduk di kelas I SMK Negeri 12. Ruangan itu juga digunakan sebagai tempat Saiful dan ayahnya tidur. Bagian tengah digunakan sebagai ruang tidur Carini dan Evi, sementara ruangan paling belakang digunakan sebagai dapur.

Untuk membantu perekonomian keluarga, sejak lulus sekolah, Saiful menarik gerobak sampah. Saiful memperoleh upah Rp 1.000 dari setiap pemilik rumah.

Semestinya Saiful bisa melamar bekerja sebagai mekanik di pabrik otomotif dengan menunjukkan ijazah yang dilegalisasi sekolah. Namun, untuk memperoleh itu, dia harus membayar SPP untuk satu bulan. Untuk memenuhi syarat itu, Carini pun tak mampu.

”Uang yang ada sekarang hanya cukup untuk kebutuhan pendidikan adiknya, Evi,” ucapnya.

Aji Prasetyo (21) juga mengalami hal serupa. Dia sempat tak bisa mengambil ijazahnya di SMA Negeri 18, Tanjung Priok, selama tiga tahun sejak lulus tahun 2009 karena menunggak biaya pendidikan Rp 1,3 juta. Namun, beruntung, dia diberi keringan oleh pihak sekolah, yaitu cukup membayar Rp 600.000.

Uang pelunasan itu dia kumpulkan dari penghasilannya bekerja sebagai tenaga mekanik di bengkel ditambah dengan hasil penjualan telepon selulernya. Padahal, saat itu, dia sangat membutuhkan telepon untuk menerima panggilan pekerjaan dari perusahaan.

Kehidupan ekonomi orangtua Aji pun tak berbeda jauh dengan Saiful. Kondisi rumahnya paling memprihatinkan di kawasan Koja, Jakarta Utara. Rumahnya berada di bawah permukaan jalan, atapnya reyot dan tampak nyaris ambruk.

”Beruntung pihak sekolah mau memahami keadaan ekonomi kami. Dengan ijazah itu, sekarang Aji bisa melamar kerja,” kata Ani, orangtua Aji.

Di Jakarta Utara, bukan hanya Saiful dan Aji yang mengalami nasib seperti ini. Berdasarkan pantauan Kompas, ada lebih dari 12 siswa yang kesulitan melamar pekerjaan akibat terganjal masalah ijazah yang belum bisa diambil di sekolah.

Bahkan, di SMA Negeri 18 ada 40 ijazah yang belum diambil siswanya karena terganjal tunggakan biaya pendidikan. Namun, pemerintah kota belum juga mengambil tindakan untuk menyelamatkan mereka.

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook