Friday, September 7, 2012

Menjaga Satwa, Menyambung Hidup




Anggota Tim Ekspedisi Cincin Api Kompas, Aswin (dua kanan), berpose bersama pemandu wisata, Alfons Wodi (kiri) dan rekan-rekannya saat menunggu di depan sarang Tarsius di kawasan Hutan Cagar Alam Tangkoko di Kelurahan Batu Putih, Kecamatan Ranowolu, Bitung, Sulawesi Utara, Jumat (27/7/2012).

(News Today) - Tidak dipungkiri Indonesia memiliki kekayaan flora dan fauna. Hampir di setiap daerah di Indonesia memiliki ciri khas tersendiri. Sebut saja burung cendrawasih dari Papua, komodo dari Pulau Komodo, NTT, hingga orangutan di Kalimantan dan Sumatera.

Sulawesi pun tidak ketinggalan, bahkan di pulau ini terdapat sejumlah satwa endemik seperti babi rusa, anoa, burung maleo, kera hitam sulawesi, dan tarsius. Tidak mengherankan jika Sulawesi menjadi tujuan wisata bagi turis yang ingin menikmati keanekaragaman satwa endemik tersebut.

Sayangnya sejumlah satwa endemik tersebut kerap menjadi buruan untuk dikonsumsi. Sebut saja kera hitam berjambul sulawesi yang dalam bahasa latin disebut Macaca nigra. Di Sulawesi Utara, kera yang dalam bahasa daerah di sebut 'yaki' ini diburu untuk dikonsumsi. Selain yaki, tarsius pun kadang diburu.

Adalah Alfons Wodi yang menjadi pemandu Tim Ekspedisi Cincin Api selama berada di kawasan hutan cagar alam Tangkoko yang berada di Kelurahan Batu Putih, Kecamatan Ranowolu, Kota Bitung, Sulawesi Utara. Alfons bercerita, dulu pemuda di Batu Putih kerap berburu yaki untuk dijual di pasar. Karena pada waktu itu melalui hasil buruanlah para pemuda bisa mendapatkan uang. Kondisi ini terjadi karena pada waktu itu pariwisata di kawasan hutan Cagar Alam Tangkoko belum berkembang, sehingga mata pencaharian warga juga hanya menjadi nelayan dan berburu.

Ketika pariwisata di tempat ini berkembang, sedikit demi sedikit para pemuda desa memilih meninggalkan berburu dan menjadi pemandu wisata. Alfons bersama rekannya kerap mengantarkan turis asing maupun lokal. Pengenalan mereka akan kondisi hutan Tangkoko membuat mereka dengan mudah menunjukkan lokasi-lokasi untuk mengamati satwa liar.

"Pendapatannya lebih besar dari pada berburu hewan. Jadi dari pada kami membunuh hewan, lebih baik kami menjaga satwa tersebut untuk tepat hidup dan menarik wisatawan lebih banyak lagi," kata Alfons, Kamis (26/7/2012).

Enam tahun menjadi pemandu wisata membuat Alfons kerap mendapatkan banyak pengalaman. Mulai dari menemani fotografer untuk memotret burung rangkong, hingga bertemu dengan ular berbisa. Namun kondisi tersebut malah membuat Alfons semakin mencintai pekerjaannya.

"Di dalam hutan ini ada beberapa lokasi yang bisa dikunjungi. Ada tarsius, rangkong, dan yaki. Kebanyakan turis ingin melihat tarsius. Kalo mau melihat tarsius harus berangkat pukul 16.30 atau menjelang magrib, atau tidak pukul 04.30 menjelang pagi. Karena tarsius baru keluar sarang pada jam-jam tersebut," kata Alfons.

Untuk melihat tarsius, Alfons mematok harga Rp 85.000 per orang. Biaya tersebut sudah termasuk biaya tiket masuk, retribusi konservasi, dan biaya pemandu. Jika turis ingin lebih dari 3 jam maka harga dipatok menjadi Rp 200.000. Dalam sehari Alfons bisa mendapatkan keuntungan bersih Rp 60.000 dari memandu wisata. Bisa dikatakan dia hidup dari sektor pariwisata di Hutan Tangkoko ini.

Alfons menyadari jika satwa endemik yang ada di Hutan Tangkoko habis maka turis tidak akan datang dan dia beserta rekan-rekannya tidak akan bisa bekerja lagi.

"Kami memang tidak memiliki pengetahuan yang banyak mengenai satwa endemik ini, bahkan beberapa rekan saya tidak mampu menjawab jika diberikan pertanyaan ilmiah mengenai satwa-satwa ini. Tapi kami sadar bahwa satwa tersebut harus dilindungi, bukan sekadar supaya kami bisa memandu wisata, tapi memang satwa itulah yang menjadi ciri khas kawasan ini," kata Alfons.

Sayangnya hutan Tangkoko memiliki luas ribuan hektar, sehingga kemungkinan terjadinya praktek perburuan satwa endemik masih besar.

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook