Wednesday, September 12, 2012

Jejak Prasejarah yang Terkubur di Bukit Kapur




Dusun Rammang Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/8), memiliki panorama unik karena berada di kawasan karst.

(News Today) - Jalan berbatu itu berujung di bukit kapur yang sebagian pucuknya telah dikepras. Satu ekskavator diparkir tak jauh dari balok-balok batu marmer berwarna putih susu yang disusun rapi. Minggu (5/8) siang itu sunyi, tak seorang pekerja pun terlihat.

Tiba-tiba, seorang lelaki datang dengan sepeda motor dan menghadang di pintu masuk. ”Bukit ini sudah dibeli untuk penambangan marmer. Tidak boleh masuk tanpa izin perusahaan,” katanya.

Namun, Iwan Sumantri, arkeolog dari Universitas Hasanuddin, menerangkan bahwa kami hendak melihat lukisan prasejarah di Leang Mandauseng di kaki bukit yang ditambang itu. Situs berupa goa bergambar itu, kata Iwan, milik negara dan siapa pun boleh melihatnya.

”Tetap tidak bisa ke sana. Jalannya sulit,” katanya beralasan. Iwan menjelaskan bahwa ia sudah pernah ke sana. Lelaki itu terdiam dan mulai melunak begitu mengenali Iwan. ”Bapak yang dulu pernah penelitian kemari, ya?” katanya.

Setelah itu, lelaki bernama Daeng Baharudin (40), warga Desa Tumakasia, Kecamatan Bantimurung, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, itu justru menyampaikan keluh kesah tentang gajinya sebagai tenaga pengamanan yang tak seberapa. ”Kaus ini saja baru dikasih setelah lama saya meminta-minta,” katanya sambil menunjukkan kaus lengan panjang dengan tulisan ”Security” di dadanya.

Baharudin kemudian membuka pintu portal dan menemani kami ke goa prasejarah itu. ”Situsnya hanya gambar tapak tangan, kok,” katanya sambil berjalan, meniti pematang. Bagi Baharudin, gambar telapak tangan warna merah itu mungkin tak berharga.

Namun, bagi Iwan, situs itu sangat penting karena menyimpan jejak manusia dari masa lalu. Sepuluh menit berjalan, kami tiba di mulut goa di kaki bukit. Dua lukisan tapak tangan berwarna merah mulai pudar. Jika tak jeli memperhatikannya, lukisan itu akan sulit terlihat.

”Lukisan tangan Leang Mandauseng hanya satu dari ratusan jejak prasejarah yang tersimpan di kawasan karst Maros-Pangkep (Pangkajene Kepulauan),” kata Iwan. ”Sayangnya, tak semua terlindungi karena terancam penambangan.”

gt; Selain perbukitan karst di Guilin, China, kawasan karst yang membentang dari Maros hingga Pangkep ini termasuk unik karena membentuk rangkaian menara (tower) karst. Berdasarkan data Badan Lingkungan Hidup Daerah Sulsel, terdapat 286 goa di kawasan tebing karst seluas 43.750 hektar itu.

Menurut data dari Balai Pelestarian Cagar Budaya Makassar, terdapat 16 situs goa prasejarah di Kabupaten Maros dan 17 situs goa prasejarah di Kabupaten Pangkep. ”Data itu tidak lengkap. Jumlah situs yang sebenarnya jauh lebih banyak,” kata Iwan.

Gambar-gambar prasejarah berwarna merah menyala juga memenuhi dinding Goa Sakapao, Kelurahan Birai, Kecamatan Minasa Te’ne, Pangkep. Ada gambar babi, ikan, perahu, dan belasan telapak tangan.

”Bahan pewarnanya dari tanah liat yang dicampur akar- akaran,” kata Iwan. Dilihat dari morfologi gambarnya yang anatominya sudah sangat maju, menurut Iwan, lukisan ini kemungkinan dibuat pada masa Mesolitik (5.000 tahun sebelum Masehi) dan zaman Neolitik (3.000 tahun sebelum Masehi).

Selain lukisan, menurut Iwan, di goa-goa Maros-Pangkep juga ditemukan banyak alat batu, sisa sampah dapur berupa kerang, bahkan belakangan ditemukan gading stegodon di Goa Leang Burung.

Tahun 1995, Iwan pernah melakukan penanggalan menggunakan karbon-14 untuk mengetahui kapan goa-goa itu dihuni. ”Saya dapat angka 24.000- 28.000 tahun lalu,” katanya.

Namun, beberapa ahli lain memperkirakan goa ini dihuni 3.000-5.000 tahun lalu. ”Bisa jadi ada dua kali penghunian atau ada beberapa lapis budaya,” kata Iwan.

Lalu, kenapa goa-goa ini kemudian ditinggalkan?

Kompas/Iwan Setiyawan
Dusun Rammang Rammang, Kabupaten Maros, Sulawesi Selatan, Sabtu (4/8), memiliki panorama unik karena berada di kawasan karst.
Perubahan lingkungan

Guru Besar Geologi Universitas Hasanuddin Imran Umar mengatakan, formasi kapur Maros-Pangkep yang terbentuk pada periode Eosen sampai Miosen awal, 18 juta-56 juta tahun lalu, ini sebenarnya merekam perubahan lingkungan pada masa lalu. Perubahan lingkungan itulah yang kemungkinan berdampak pada kehidupan manusia prasejarah.

”Manusia prasejarah biasanya hidup tak jauh dari pantai,” kata Imran. ”Saya menduga, goa-goa itu dulu berada di tepi pantai.”

Menurut Imran, keberadaan goa yang dihuni manusia prasejarah ini menandai periode naik-turunnya permukaan air laut pada masa lalu. ”Di Goa Tanjung Birah dan Leang-leang terdapat pantai purba. Di sana ada tebing yang terabrasi laut yang membuktikan bahwa pada masa lalu kawasan itu pernah berada di tepi pantai,” katanya.

Sekitar 30.000 tahun lalu, air laut di kawasan Asia Tenggara pernah naik hingga 65 sentimeter dibandingkan sekarang.

Di goa-goa ini juga ditemukan banyak sampah dapur manusia purba berupa cangkang kerang, yang membuktikan kawasan ini dulu berada tak jauh dari laut. Penelitian Fritz Sarasin dan Paul Sarasin menemukan umur kerang sekitar 9.000-30.000 tahun lalu.

Selain itu, lukisan perahu di beberapa goa juga menguatkan dugaan, manusia prasejarah ini pernah tinggal di dekat laut.

Jarak laut dengan Goa Sakapao saat ini sekitar 10 kilometer. Jika dulu laut pernah sampai di mulut Goa Maros-Pangkep, bisa jadi hal itu akan berulang seiring dengan perubahan iklim saat ini.

”Kini kami bekerja sama dengan sejumlah peneliti dari dalam dan luar negeri untuk meneliti perubahan iklim pada masa lalu. Dan karst Maros-Pangkep ini adalah salah satu subyek penelitian yang sangat penting,” kata Imran. ”Rugi besar kalau kemudian dirusak oleh pertambangan.”

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook