Friday, August 10, 2012

Tradisi Mudik, Tak Kapok meski Sulit




(News Today) - Berlebaran tanpa mudik ke kampung halaman pasti dirasakan hampa oleh sebagian besar masyarakat kita. Salah satunya adalah Durmin Aryanto (54), ayah lima anak asal Cirebon, Jawa Barat, yang berprofesi sebagai sopir bus lintas trans-Sumatera.

Meski penghasilan sebagai sopir bus sungguh pas-pasan, mudik ke kampung halaman saat Lebaran bukan lagi sekadar ritual tahunan, melainkan juga kewajiban. ”Rasanya tidak seperti Lebaran kalau saya dan keluarga tidak kumpul bersama orangtua di kampung,” ujar Durmin, Selasa (7/8/2012).

Meskipun pernah menempuh perjalanan seharian penuh dengan angkutan umum bersama keluarganya dari Jakarta menuju Cirebon beberapa tahun lalu, Durmin tidak pernah kapok. Ia tetap merasa bahagia bisa merayakan hari kemenangan bersama sanak keluarganya di kampung. Tahun ini, Durmin berencana ingin pulang kembali.

”Coba saja bayangin kalau di bus 24 jam. Bukan cuma macet, melainkan benar-benar stop. Dari Cikampek, busnya disuruh keluar Karawang, tetapi macet. Disuruh balik lagi ke Kopo, lebih macet lagi. Ya, sudah pasrah saja,” kisah Durmin.

Dengan lima anak dan istri, ongkos yang dikeluarkan Durmin juga tak kecil. Untuk membeli tujuh tiket bagi ”pasukannya” yang masing-masing seharga Rp 200.000 per orang, Durmin harus merogoh kocek Rp 1,4 juta. ”Belum pengeluaran untuk tiket pulang, untuk oleh-oleh, dan jalan-jalan di kampung. Akan tetapi, tidak soal. Yang penting senang bertemu dan kumpul,” tambah Durmin.

Jika ada keluarganya yang menawarkan tumpangan mobil, Durmin tak menyia-nyiakan kesempatan itu meskipun ia harus berpisah dengan keluarganya dan tiba di kampung tidak bersamaan. Ia dan istrinya pilih naik bus. Sebagian anak diikutkan keluarga.

”Sebagai penumpang, kita pasrah saja jalan mana yang diambil sopir. Mau jalur pantura (pantai utara) atau alternatif, hampir sama saja. Macet di mana-mana,” lanjutnya.

Berbeda dengan Heri (50), pedagang asal Pariaman, Sumatera Barat, yang mangkal di Terminal Bus Blok M, Jakarta. Ayah dua anak ini menunda mudik pada Lebaran kali ini karena alasan dana. Namun, ia tetap akan mudik pada Idul Qurban, Oktober mendatang.

”Karena kalau tidak memaksakan pulang kampung, saya tidak enak sama mertua saya,” ujarnya saat ditemui di Blok M, Selasa (31/7).

Demi mertua itulah Heri bersedia menabung untuk biaya mudik yang diperhitungkan mencapai Rp 2 juta sekali jalan. Itu sudah termasuk ongkos bus untuk empat orang sebesar Rp 1,4 juta dan biaya makan serta jajan di sepanjang perjalanan senilai Rp 600.000. Dengan demikian, untuk perjalanan kali ini, Heri harus menyediakan dana Rp 4 juta untuk ongkos pergi pulang mudik itu.

Baginya, biaya mudik dengan bus itu jauh lebih murah dibandingkan menggunakan pesawat terbang yang harganya sudah membubung tinggi akibat melonjaknya permintaan. Harga tiket pesawat pada hari-hari menjelang Lebaran 2012 mencapai Rp 1 juta per orang.

Meski moda bus lebih murah tiketnya, Heri dipastikan tidak mendapatkan tiket ke Pariaman karena sudah habis sejak sebelum Ramadhan. Tiket bus habis karena ada banyak orang mudik ke Sumatera Barat secara berombongan sehingga penumpang yang pulang sendiri-sendiri akan tidak mendapatkan kursi. ”Jadi, pilihannya, ya, cuma pulang dengan bus saat Idul Adha meskipun tiga hari dua malam di perjalanan,” ungkapnya.

Menikmati kemacetan

Cerita lain juga dialami Rahmanto (39). Karena sering mudik ke kampung, pria yang sejak 15 tahun terakhir bekerja di Jakarta sudah lupa berapa kali ia pulang ke rumahnya di Semarang, Jawa Tengah, untuk berlebaran. Namun, ia selalu ingat saat dipaksa menikmati macet hingga belasan jam di perjalanan setiap musim mudik dan balik Lebaran.

”Paling sering saya lewati adalah jalur pantura. Sudah pasti yang ditemui adalah kemacetan panjang. Tahun lalu, coba di jalur selatan, ternyata sama saja. Bahkan, lebih parah karena jalannya kecil dan banyak belokan. Mungkin tahun ini coba lewat jalur tengah. Kabarnya banyak jalur alternatif yang bisa dimanfaatkan,” kata Rahmanto, Minggu (5/8) lalu.

Jalur utara yang dimaksud Durmin dan Rahmanto tidak lain jalur Jakarta-Cirebon melalui Bekasi, Karawang, Cikampek, Pamanukan, Indramayu, Karang Ampel. Adapun jalur selatan melalui Jakarta, Tol Cipularang, Cileunyi, Cicalengka, Nagreg, Limbangan, Malangbong, Ciawi, Tasikmalaya, Ciamis, Banjar, hingga Majenang (Jawa Tengah).

Sementara jalur tengah yang akan dicoba Rahmanto nanti adalah jalur Jakarta, Cikampek, Sadang, Subang, Cikamurang, Kadipaten, Majalengka, hingga Cirebon.

Pilih jalur alternatif

Pilihan mudik yang diambil pemudik boleh jadi tak selamanya tepat. Namun, di tengah tingginya harga tiket untuk mudik, seperti yang dirasakan Heri, mudik dengan bus ke Pariaman, jadi pilihan. Jalur Lintas Tengah trans-Sumatera yang masih menyisakan kerawanan macet, kecelakaan, dan pungutan liar memang bukan alternatif terbaik. Namun, itulah yang bisa dilakukan pada pedagang kecil, seperti Heri untuk mengganti mudik saat Lebaran.

Bagi Durmin dan Rahmanto, volume kendaraan bermotor yang meningkat pesat hingga tak kunjung membaiknya sarana transportasi publik, pilihan itu tampaknya bisa menjadi pilihan bijaksana saat jalur utara dan selatan penuh sesak.

Apalagi, berdasarkan data Kepolisian Daerah Jawa Barat, jumlah kendaraan bermotor diperkirakan akan meningkat pada periode H-7 hingga H+7. Tahun 2011, jumlah kendaraan yang melintas di Jawa Barat mencapai 8,93 juta unit, meningkat 5,23 persen dari tahun 2010 sebanyak 8,46 juta.

Tahun 2012 sudah bisa diperkirakan lebih meningkat lagi karena Dinas Perhubungan DKI Jakarta sudah memperhitungkan kenaikan jumlah penumpang yang akan diangkut keluar dari Jakarta untuk mudik mencapai 15,1 persen menjadi 8,34 juta jiwa.

Namun, angka statistik itu tidak membuat Durmin dan Rahmanto menjadi kecut dan mengurungkan rencana untuk mudik. Mereka tetap akan mudik dengan mencoba peruntungan melalui jalur baru, seperti jalur tengah Jawa Barat.

Pemudik sekarang ini memang perlu cerdik untuk memilih moda dan sekaligus jalur alternatif yang aman dan nyaman.

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook