Thursday, August 2, 2012

Menelisik Kegunaan Simulator Kemudi Korlantas Mabes Polri




Simulator kemudi motor yang ada di Ditlantas Polda Metro Jaya.

Jakarta, Indonesia (News Today) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat ini tengah menyidik kasus dugaan korupsi dalam proyek pengadaan alat simulator kemudi mobil dan motor yang dilakukan Korps Lalu Lintas Polri (Korlantas). Alat yang belakangan ini heboh dibicarakan itu sebenarnya didistribusikan ke tiap Kepolisian Daerah. Salah satu yang pertama memiliki simulator kemudi itu adalah Polda Metro Jaya.

Menurut Inspektur Satu Sugiran, Perwira Urusan Simulator Ditlantas Polda Metro Jaya, simulator itu terletak di Satpas Surat Izin Mengemudi (SIM) yang ada di Jalan Daan Mogot, Jakarta Barat. "Yang pertama itu simulator untuk mobil. Simulator ini digunakan dalam pelaksanaan ujian teori untuk mendapatkan SIM A umum, B1 umum, dan B2 umum," ujar Sugiran, Selasa (30/7/2012) malam, saat dihubungi wartawan.

Ia menuturkan, alat-alat itu sudah ada sejak tahun 2009. Sedangkan untuk simulator sepeda motor, lanjutnya, baru diberikan Mabes Polri pada tahun 2012. Polda Metro Jaya mendapat 23 unit simulator kemudi mobil dan 19 unit simulator kemudi motor. Namun, yang saat ini baru dipakai adalah simulator kemudi mobil lantaran simulator kemudi motor masih belum digunakan karena masih banyak Polda yang belum mendapatkan alat tersebut.

"Polda Metro yang memulai pertama karena di sini yang jadi barometer bagi Polda-polda lainnya," ujarnya.

Simulator kemudi mobil, kata Sugiran, hingga kini masih dalam kondisi prima dan selalu digunakan dalam ujian teori permohonan SIM. Ia mengatakan kebereadaan simulator ini sangat bermanfaatkan dalam menentukan kompetensi seseorang dalam berkendara. "Selama ini orang maunya instan. Merasa bisa nyetir, langsung mau buat SIM. Padahal, untuk menyetir juga harus paham teori. Ini akan memberi efek saat terjun ke kondisi jalan sebenarnya," ucap Sugiran.

Empat aspek ujian

Dia mengatakan ada empat aspek yang diuji menggunakan simulator kemudi mobil yakni aspek reaksi, aspek antisipasi, aspek konsentrasi, aspek sikap dan aspek perilaku pengemudi. "Misalnya, kalau dalam keadaan cepat terus ada orang menyeberang harus bagaimana mengeremnya. Di layar itu ada sistem pengeremannya," tutur Sugiran.

Masyarakat yang ingin memiliki SIM, lanjutnya, harus memperoleh nilai minimal 60. "Salah sedikit saja, dikurangi 10 poin," imbuh Sugiran.

Sementara untuk simulator kemudi sepeda motor, saat ini baru tersedia untuk sepeda motor untuk laki-laki. Rencananya, tahun 2012 ini, simulator kemudi sepeda motor untuk perempuan juga akan diberikan Korlantas Mabes Polri. Alat tersebut nantinya akan menguji peserta ujian ke dalam 6 bagian yakni swallon test (berjalan zig-zag), Trikana (berjalan membentuk angka 8), sistem pengereman, berjalan membuat V di ujung jalan, membuat letter U, menaiki jembatan, dan jalan lambat lalu mengerem.

Bagi peserta ujian yang lolos tes uji simulator itu, ternyata harus membayar iuran. Hal ini dibenarkan Sugiran. "Bayar Rp 50.000 tapi ini masuk ke dalam kas negara yang masuk ke dalam pendapatan negara bukan pajak (PNBP)," ucap Sugiran.

Setelah lulus dan menyelesaikan administrasi, peserta harus menjalani tes berikutnya yakni ujian praktik. Terkait dengan hebohnya kasus korupsi simulator kemudi ini, Sugiran mengaku tak tahu menahu.

"Kami hanya menerima alat dari Mabes Polri dan melaksanakannya. Enggak tahu kalau soal pengadaan, Polda enggak ikutan," pungkasnya.

Sebelumnya, KPK mengusut kasus dugaan proyek korupsi pengadaan simulator kemudi motor dan mobil di Korlantas Mabes Polri tahun anggaran 2011 sejak Januari 2012. KPK menemukan indikasi kerugian negara dalam proyek pengadaan senilai Rp 190 miliar tersebut. Kerugian negara dalam proyek pengadaan yang ditangani Polri itu diduga sekitar Rp 90 miliar hingga Rp 100 miliar.

Sejak 27 Juli 2012, KPK resmi meningkatkan kasus tersebut ke tahap penyidikan dengan tersangka mantan Kakorlantas Polri, Irjen Pol Djoko Susilo. Perwira tinggi polisi yang kini menjabat Gubernur Akpol itu diduga melanggar Pasal 2 Ayat 1 dan atau Pasal 3 UU Pemberantasan dengan ancaman hukuman pidana penjara paling lama 20 tahun serta denda paling banyak Rp 1 miliar.

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook