Monday, February 6, 2012

Celana Kombor, Melorot, dan Piala Afrika




Timnas Equatorial Guinea yang tampil di Piala Afrika 2012. Mereka semua merupakan pemain naturalisai, karena negeri itu belum memiliki pemain bagus.

(News Today) - Sebelumnya, tak banyak yang tahu sepak bola Equatorial Guinea, sampai akhirnya negeri kecil ini bersama Gabon menjadi tuan rumah Piala Afrika 2012. Negeri ini semakin membuat penasaran mereka mampu lolos ke perempat final dan akhirnya kalah dari tim besar, Pantai Gading.

Equatorial Guinea memang tak memiliki tradisi sepak bola yang kuat, meski mereka lama dalam penguasaan Spanyol dan baru merdeka pada 1968. Sepak bola di negeri ini hanya sebatas permainan, hobi, atau pengisi waktu, tanpa ada pengelolaan profesional. Bahkan, sampai sekarang mereka belum memiliki kompetisi sepak bola profesional, kecuali turnamen amatir yang penyelenggaraannya tak konsisten.

Jangankan turnamen yang modern seperti di Eropa atau negara maju di Asia, pakaian para pemainnya pun kadang terkesan asal-asalan. Mereka mengenakan celana kombor, cenderung seperti rok, sehingga sepak bola di Equatorial kadang terlihat lucu.

Bahkan, saking kombornya, Reuters melaporkan, terkadang ada celana pemain yang melorot sampai ke bawah lutut. Selain itu, fasilitas sepak bola di negeri kecil ini sering tak layak, jauh jika dibanding dengan fasilitas modern.

Sebuah pertandingan uji coba sebelum Piala Afrika menjadi gambaran betapa sepak bola di negeri itu mengenaskan. Saat itu, klub Ela Nguena melawan tim cadangan Pantai Gading. Para pemain Nguena memakai celana kombor yang terkesan lucu.

Lalu, pelatih mereka melakukan pergantian pemain. Pemain pengganti masuk dengan celana yang kelewat kombor, hingga melorot. Para penonton pun tertawa terbahak-bahak, menganggap insiden ini sangat lucu.

Namun, negeri yang berada di Afrika Tengah bagian barat serta berbatasan dengan Gabon dan Kamerun ini sebenarnya cukup kaya. Mereka memiliki cadangan minyak yang besar. Sebab itu, Equatorial Guinea digandeng tetangganya, Gabon, untuk menjadi tuan rumah Piala Afrika 2012.

Equatorial Guinea yang berada di urutan ke-151 pemeringkatan FIFA sebelumnya dinilai bakal menjadi pelengkap penderita. Nyatanya, mereka ternyata bermain bagus dan mampu menggerakkan euforia massa. Sampai ke perempat final sudah prestasi besar untuk ukuran mereka. Namun, perlu diingat, para pemain mereka yang tampil di Piala Afrika adalah pemain naturalisasi. Mereka bermain di liga-liga besar, termasuk di Eropa. Sebagian dari mereka lahir di negara lain, tetapi punya garis keturunan Equatorial Guinea.

Meski masih mengandalkan pemain naturalisasi, prestasi mereka cukup menimbulkan euforia dan inspirasi. Euforia itu yang diharapkan akan menggerakkan negara ini untuk mulai menggarap sepak bola lebih serius, salah satunya membangun kompetisi profesional. Fasilitas stadion sudah dibangun karena penyelenggaraan Piala Afrika. Equatorial Guinea tinggal melengkapi fasilitas lain dan membina bakat dengan lebih profesional. Dengan begitu, nanti tak ada lagi pemain dengan celana kombor, bahkan melorot.

"Terima kasih karena kami jadi tuan rumah Piala Afrika 2012 sehingga sepak bola di Equatorial Guinea berubah," kata Ketua Eksekutif Panitia Lokal Piala Afrika 2012, Ruslan Obiang.

"Para pemain dan bakat kami memiliki pengalaman langsung merasakan kompetisi antarnegara se-Afrika ini. Mereka kini melihat bagaimana sepak bola tingkat tinggi dimainkan," tambahnya.

Maklum, sepak bola seperti hal asing di negeri ini. Mereka tak pernah mengikuti turnamen besar, apalagi Piala Afrika. Beruntung mereka jadi tuan rumah sehingga bisa langsung tampil di putaran final untuk pertama kalinya.

"Iya, kami tak pernah berpartisipasi di level ini sebelumnya. Rakyat kami sangat menikmatinya. Ini akan menggerakkan para remaja dan pemuda, juga federasi sepak bola kami, untuk membangun sepak bola," harap Obiang.

Obiang menambahkan, "Kami sedang mempelajari kemungkinan untuk membentuk liga profesional. Federasi sepak bola kami akan bernegosiasi dengan pemerintah untuk memfasilitasinya. Jika kami bisa membawa pemain-pemain dari Kamerun dan Angola serta membayar mereka 3.000 euro (sekitar Rp 35 juta) per bulan, maka kompetisi akan lebih atraktif."

Obiang sadar, mengandalkan pemain lokal semata tak akan membuat kompetisi menarik. Maklum, negeri ini hanya memiliki populasi 676.000 jiwa pada 2009. Maka dari itu, mencari bakat pemain bola sangat susah, selain tradisi sepak bola yang tidak kuat.

Kini, mereka sudah memiliki infrastruktur sepak bola yang baik setelah menjadi tuan rumah. Mereka juga punya uang besar untuk menarik para pemain keturunan atau asing datang dan bermain di sana, sembari menanti munculnya bakat-bakat lokal.

"Tanpa pemain naturalisasi, kami tak bisa berbuat apa-apa. Namun, harapan ke depan, kami bisa membangun kompetisi yang melahirkan bakat-bakat besar," kata Obiang.

Ini memang momen besar buat negeri itu. Sayang jika tak dimanfaatkan. Dengan kekuatan uang, dukungan pemerintah, dan fasilitas yang sudah ada, ditambah inspirasi Piala Afrika 2012, Equatorial Guinea bisa mulai membangun sepak bolanya sehingga, kelak, mereka tak lagi menjadi tertawaan karena cerita celana kombor, tetapi sebaliknya justru mulai diperhitungkan dunia.

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook