(News Today) - Bayangkan sekerat daging yang sangat empuk, dengan lumuran bumbu dari aneka rempah dan cabai. Rasa gurih dan pedasnya melumer di lidah, mengantar ke awang-awang. Kelezatan ini telah mengantar rendang menjadi ikon baru, sebagai makanan terlezat di dunia!
Itu adalah hasil survei ”The World’s 50 Most Delicious Food” yang dilakukan CNNGo.com yang dijaring melalui akun Facebook. Rendang, juga nasi goreng yang menempati peringkat kedua, melampaui kelezatan sushi Jepang, tom yum goong Thailand, lasagna Italia, ataupun kebab Turki.
Awalnya, bulan Juli lalu CNNGo.com menempatkan massaman curry dari Thailand sebagai masakan terenak di dunia (rendang ”hanya” menempati peringkat ke-11). Namun, daftar makanan terlezat itu memancing perdebatan hangat karena tidak mencantumkan kriterianya. Awal September, daftar itu direvisi.
”Setelah menjaring 35.000 suara, jelaslah survei terdahulu itu (Juli 2011) salah. Masakan terlezat di dunia bukanlah massaman curry dari Thailand, seperti yang kami sebutkan waktu itu, tetapi masakan daging yang spicy dan gingery dari Sumatera Barat,” demikian kata pengantar di laman CNNGo.com.
Masakan khas Minang ini selalu menjadi menu favorit restoran padang yang tersebar di Nusantara. Dia sudah menjadi semacam penyatu selera masyarakat yang berasal dari beragam etnik di Indonesia. Sampai-sampai terasa ada yang timpang jika menu Lebaran di rumah tak menyertakan rendang. Masakan ini sudah menjadi trade mark hari raya.
Mungkin kita bisa menengok dapur Ny Reno Andam Sari (39), pemilik merek Rendang Uni Farah, di kawasan Cileduk, Tangerang, untuk membuktikan betapa rendang begitu digandrungi lidah orang Indonesia. Selasa (20/9/2011) sore itu, puluhan kilogram daging hampir tuntas dikemas untuk dikirimkan ke berbagai pelosok di Indonesia, bahkan hingga ke Iran, Irak, Jepang, dan Malaysia. Tak ada yang tersisa. Semua bungkus telah ada yang memesan.
Bayangkan bagaimana sibuknya suasana di garasi rumah ibu dengan dua anak ini ketika menjelang Lebaran lalu. Pintu pesanan sudah tutup meski Ramadhan baru dimulai. Maklum, permintaan telah mencapai lebih dari 500 kilogram.
Resep rendang Uni Farah diwarisi secara turun-temurun. Sang ibu, Ny Intan Cahaya (76), yang oleh Reno disebut sebagai master shifu rendang, menganggap keahliannya meracik rendang tidak istimewa. ”Sesuai dengan tradisi di Payakumbuh, anak gadis yang sudah berusia 10 tahun harus masuk dapur dan bisa memasak. Jadi, sejak kecil saya sudah biasa membuat aneka masakan, termasuk rendang, untuk keluarga besar,” kata Intan, yang kemudian mewariskan keahliannya kepada putrinya, Reno.
Rendang Uni Farah masih menggunakan proses tradisional, yaitu dimasak dengan kayu bakar. Mungkin proses inilah yang membedakan tingkat kelezatan. Dengan kayu bakar, panas api bisa dipindah-pindahkan sesuai dengan keinginan. Sementara dengan kompor gas, api hanya menjangkau lingkaran kompor.
Keratan-keratan daging itu dicemplungkan ke dalam bumbu rendang yang berwarna merah keemasan, yang merupakan campuran dari lengkuas, kunyit, jahe, daun jeruk, bawang merah, dan tentunya santan. Beberapa menit sekali adonan itu terus diaduk sampai kuah adonan mengering. Sebuah proses yang melelahkan. ”Kami mulai memasak pukul 08.00 dan pukul 17.00 baru jadi rendang kering,” kata Reno. Bayangkan, hampir sembilan jam!
Dan, daging-daging berwarna coklat kehitaman ini bukan hanya empuk, juga menyisakan tekstur berminyak dan aroma asap yang khas. Smoky and tender, itulah ungkapan untuk menggambarkan kelezatan rendang di mata orang asing, yang menyebutnya sebagai Western Sumatra caramelized beef curry.
Tanyakan kepada ahli kuliner William Wongso yang sedang berada di Belanda, bagaimana orang-orang bule itu sampai gandrung dengan menu satu ini. Apalagi setelah mereka tahu betapa ruwet dan unik pemasakannya. Proses menggosongkan santan dan bumbu hingga menghasilkan rasa gurih dan aroma harum karamel sulit ditandingi daya tariknya.
”Singkatnya, setiap orang asing yang antre untuk mencicipi masakan ini pasti akan antre lagi,” kata William, yang pekan lalu melakukan pelatihan memasak bagi anggota Asosiasi Pemburu Belanda. Ia antara lain mengenalkan resep rendang untuk memasak hasil buruan mereka, yang ternyata sangat digemari. Pun dalam jamuan makan malam yang diadakan Duta Besar Indonesia untuk Belanda Umar Hadi, Menteri Luar Negeri Belanda Ulrich Rozenthal dan undangan menyatakan ”suka sekali” sewaktu mereka mencicipi rendang.
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia, yang menjadi salah satu ujung tombak pengenalan kuliner Indonesia ke tataran internasional, juga menyimpan cerita ini. Rendang yang dimasak oleh perusahaan katering Aerofood ACS menjadi salah satu menu andalan di pesawat dan senantiasa menjadi favorit penumpang mancanegara.
”Rendang selalu habis. Untuk sajian rijsttafel di kelas bisnis, rendang menjadi pilihan penumpang yang paling laris. Bule-bule itu sampai pada nambah,” kata Agus Priyanto, Executive Vice President Commercial Garuda Indonesia.
Tanah kelahiran
Bagaimana keberadaan rendang di tanah kelahirannya? Rupanya bukan perkara mudah menemukan lapau yang menjual rendang terbaik di ranah Minang. Semua rendang di sana (disebut randang) terasa enak, dengan hanya perbedaan tipis untuk menyatakannya ”paling enak”.
Muncullah nama Ampera Beringin, lapau yang didirikan pasangan almarhum Ali Umar Pilo dan Roslaini Pilo pada awal 1970-an, yang kini telah berkembang menjadi beberapa lapau dan salah satunya dikelola oleh anak ke-9, Iswandi, di kawasan Pasar Raya, Padang.
Daging rendang di lapau itu punya tekstur khas. Dengan sekali gigitan, lidah kita akan merasakan sensasi hancurnya daging di langit-langit mulut dengan lelehan bumbu menusuk lidah. Namun, menurut Iswandi, kenikmatan itu bukan proses sekejap. Semuanya diawali dengan pemilihan bahan baku yang segar, terutama daging, dan proses memasak yang bisa berbeda setiap dapurnya. Namun, bagian ini sedikit diselubungi. Maklum ”rahasia perusahaan”.
”Semua bumbu dan cabai kami giling sendiri. Memang ada di pasar, tetapi kami memilih sendiri bumbu yang segar, meracik sendiri, dan menggiling sendiri. Rasanya pasti beda,” kata dia.
Selain untuk konsumsi di Padang, rendang lapau itu sudah melanglang buana. ”Rendang kami sering dibawa sebagai bekal pergi haji ke Mekkah ataupun orang yang belajar di Eropa. Orang Minang kan lumayan banyak di Belanda,” lanjutnya.
Tradisi merantau warga Minang nyatanya ikut memopulerkan rendang ke seluruh penjuru Nusantara dan tanah rantau di negeri orang. Ikatan kuat dengan makanan kampung halaman itu akhirnya ikut mendorong inovasi pengemasan sehingga rendang bisa dikirim dengan mudah dan dikemas tahan lama.
Di Kota Payakumbuh misalnya, jenis rendang yang ditawarkan dibungkus dalam kemasan plastik dan dimasukkan dalam kotak-kotak dengan aneka merek, yang biasanya diambil dari nama anak perempuan sang pemilik. Rendang yang dijual sangat kering dan memiliki jenis yang beragam, seperti rendang telur, rendang paru, rendang ubi yang cenderung mirip keripik. Juga ada rendang runtiah, berupa daging yang disuwir-suwir.
”Kami tidak menjual sendiri ke luar negeri, tetapi ada pengepul. Mereka mengumpulkan dan kemudian menjualnya ke Singapura dan Mekkah,” kata Eriani, pemilik rendang bermerek Erika yang gerainya di Jalan Tan Malaka, Sungai Durian, Kecamatan Payakumbuh Utara.
Ketika rendang menjadi bekal favorit mereka yang menunaikan ibadah haji, hal ini mendorong pengusaha rendang memodifikasi strategi berdagang. ”Saya kembangkan rendang dalam bentuk sachet, yaitu satu paket isinya dua potong. Jadi jemaah bisa membuka rendangnya sehari demi sehari,” kata Reno, pemilik Rendang Uni Farah.
Modernisasi telah membuat kehidupan manusia menjadi serba cepat dan efisien, sampai-sampai memunculkan yang dinamakan masakan cepat saji. Namun, selera rupanya susah berubah. Perlahan tetapi pasti, orang semakin merindukan kembali ”masakan rumah”.
Rendang telah menjembatani perubahan zaman….
Itu adalah hasil survei ”The World’s 50 Most Delicious Food” yang dilakukan CNNGo.com yang dijaring melalui akun Facebook. Rendang, juga nasi goreng yang menempati peringkat kedua, melampaui kelezatan sushi Jepang, tom yum goong Thailand, lasagna Italia, ataupun kebab Turki.
Awalnya, bulan Juli lalu CNNGo.com menempatkan massaman curry dari Thailand sebagai masakan terenak di dunia (rendang ”hanya” menempati peringkat ke-11). Namun, daftar makanan terlezat itu memancing perdebatan hangat karena tidak mencantumkan kriterianya. Awal September, daftar itu direvisi.
”Setelah menjaring 35.000 suara, jelaslah survei terdahulu itu (Juli 2011) salah. Masakan terlezat di dunia bukanlah massaman curry dari Thailand, seperti yang kami sebutkan waktu itu, tetapi masakan daging yang spicy dan gingery dari Sumatera Barat,” demikian kata pengantar di laman CNNGo.com.
Masakan khas Minang ini selalu menjadi menu favorit restoran padang yang tersebar di Nusantara. Dia sudah menjadi semacam penyatu selera masyarakat yang berasal dari beragam etnik di Indonesia. Sampai-sampai terasa ada yang timpang jika menu Lebaran di rumah tak menyertakan rendang. Masakan ini sudah menjadi trade mark hari raya.
Mungkin kita bisa menengok dapur Ny Reno Andam Sari (39), pemilik merek Rendang Uni Farah, di kawasan Cileduk, Tangerang, untuk membuktikan betapa rendang begitu digandrungi lidah orang Indonesia. Selasa (20/9/2011) sore itu, puluhan kilogram daging hampir tuntas dikemas untuk dikirimkan ke berbagai pelosok di Indonesia, bahkan hingga ke Iran, Irak, Jepang, dan Malaysia. Tak ada yang tersisa. Semua bungkus telah ada yang memesan.
Bayangkan bagaimana sibuknya suasana di garasi rumah ibu dengan dua anak ini ketika menjelang Lebaran lalu. Pintu pesanan sudah tutup meski Ramadhan baru dimulai. Maklum, permintaan telah mencapai lebih dari 500 kilogram.
Resep rendang Uni Farah diwarisi secara turun-temurun. Sang ibu, Ny Intan Cahaya (76), yang oleh Reno disebut sebagai master shifu rendang, menganggap keahliannya meracik rendang tidak istimewa. ”Sesuai dengan tradisi di Payakumbuh, anak gadis yang sudah berusia 10 tahun harus masuk dapur dan bisa memasak. Jadi, sejak kecil saya sudah biasa membuat aneka masakan, termasuk rendang, untuk keluarga besar,” kata Intan, yang kemudian mewariskan keahliannya kepada putrinya, Reno.
Rendang Uni Farah masih menggunakan proses tradisional, yaitu dimasak dengan kayu bakar. Mungkin proses inilah yang membedakan tingkat kelezatan. Dengan kayu bakar, panas api bisa dipindah-pindahkan sesuai dengan keinginan. Sementara dengan kompor gas, api hanya menjangkau lingkaran kompor.
Keratan-keratan daging itu dicemplungkan ke dalam bumbu rendang yang berwarna merah keemasan, yang merupakan campuran dari lengkuas, kunyit, jahe, daun jeruk, bawang merah, dan tentunya santan. Beberapa menit sekali adonan itu terus diaduk sampai kuah adonan mengering. Sebuah proses yang melelahkan. ”Kami mulai memasak pukul 08.00 dan pukul 17.00 baru jadi rendang kering,” kata Reno. Bayangkan, hampir sembilan jam!
Dan, daging-daging berwarna coklat kehitaman ini bukan hanya empuk, juga menyisakan tekstur berminyak dan aroma asap yang khas. Smoky and tender, itulah ungkapan untuk menggambarkan kelezatan rendang di mata orang asing, yang menyebutnya sebagai Western Sumatra caramelized beef curry.
Tanyakan kepada ahli kuliner William Wongso yang sedang berada di Belanda, bagaimana orang-orang bule itu sampai gandrung dengan menu satu ini. Apalagi setelah mereka tahu betapa ruwet dan unik pemasakannya. Proses menggosongkan santan dan bumbu hingga menghasilkan rasa gurih dan aroma harum karamel sulit ditandingi daya tariknya.
”Singkatnya, setiap orang asing yang antre untuk mencicipi masakan ini pasti akan antre lagi,” kata William, yang pekan lalu melakukan pelatihan memasak bagi anggota Asosiasi Pemburu Belanda. Ia antara lain mengenalkan resep rendang untuk memasak hasil buruan mereka, yang ternyata sangat digemari. Pun dalam jamuan makan malam yang diadakan Duta Besar Indonesia untuk Belanda Umar Hadi, Menteri Luar Negeri Belanda Ulrich Rozenthal dan undangan menyatakan ”suka sekali” sewaktu mereka mencicipi rendang.
Maskapai penerbangan Garuda Indonesia, yang menjadi salah satu ujung tombak pengenalan kuliner Indonesia ke tataran internasional, juga menyimpan cerita ini. Rendang yang dimasak oleh perusahaan katering Aerofood ACS menjadi salah satu menu andalan di pesawat dan senantiasa menjadi favorit penumpang mancanegara.
”Rendang selalu habis. Untuk sajian rijsttafel di kelas bisnis, rendang menjadi pilihan penumpang yang paling laris. Bule-bule itu sampai pada nambah,” kata Agus Priyanto, Executive Vice President Commercial Garuda Indonesia.
Tanah kelahiran
Bagaimana keberadaan rendang di tanah kelahirannya? Rupanya bukan perkara mudah menemukan lapau yang menjual rendang terbaik di ranah Minang. Semua rendang di sana (disebut randang) terasa enak, dengan hanya perbedaan tipis untuk menyatakannya ”paling enak”.
Muncullah nama Ampera Beringin, lapau yang didirikan pasangan almarhum Ali Umar Pilo dan Roslaini Pilo pada awal 1970-an, yang kini telah berkembang menjadi beberapa lapau dan salah satunya dikelola oleh anak ke-9, Iswandi, di kawasan Pasar Raya, Padang.
Daging rendang di lapau itu punya tekstur khas. Dengan sekali gigitan, lidah kita akan merasakan sensasi hancurnya daging di langit-langit mulut dengan lelehan bumbu menusuk lidah. Namun, menurut Iswandi, kenikmatan itu bukan proses sekejap. Semuanya diawali dengan pemilihan bahan baku yang segar, terutama daging, dan proses memasak yang bisa berbeda setiap dapurnya. Namun, bagian ini sedikit diselubungi. Maklum ”rahasia perusahaan”.
”Semua bumbu dan cabai kami giling sendiri. Memang ada di pasar, tetapi kami memilih sendiri bumbu yang segar, meracik sendiri, dan menggiling sendiri. Rasanya pasti beda,” kata dia.
Selain untuk konsumsi di Padang, rendang lapau itu sudah melanglang buana. ”Rendang kami sering dibawa sebagai bekal pergi haji ke Mekkah ataupun orang yang belajar di Eropa. Orang Minang kan lumayan banyak di Belanda,” lanjutnya.
Tradisi merantau warga Minang nyatanya ikut memopulerkan rendang ke seluruh penjuru Nusantara dan tanah rantau di negeri orang. Ikatan kuat dengan makanan kampung halaman itu akhirnya ikut mendorong inovasi pengemasan sehingga rendang bisa dikirim dengan mudah dan dikemas tahan lama.
Di Kota Payakumbuh misalnya, jenis rendang yang ditawarkan dibungkus dalam kemasan plastik dan dimasukkan dalam kotak-kotak dengan aneka merek, yang biasanya diambil dari nama anak perempuan sang pemilik. Rendang yang dijual sangat kering dan memiliki jenis yang beragam, seperti rendang telur, rendang paru, rendang ubi yang cenderung mirip keripik. Juga ada rendang runtiah, berupa daging yang disuwir-suwir.
”Kami tidak menjual sendiri ke luar negeri, tetapi ada pengepul. Mereka mengumpulkan dan kemudian menjualnya ke Singapura dan Mekkah,” kata Eriani, pemilik rendang bermerek Erika yang gerainya di Jalan Tan Malaka, Sungai Durian, Kecamatan Payakumbuh Utara.
Ketika rendang menjadi bekal favorit mereka yang menunaikan ibadah haji, hal ini mendorong pengusaha rendang memodifikasi strategi berdagang. ”Saya kembangkan rendang dalam bentuk sachet, yaitu satu paket isinya dua potong. Jadi jemaah bisa membuka rendangnya sehari demi sehari,” kata Reno, pemilik Rendang Uni Farah.
Modernisasi telah membuat kehidupan manusia menjadi serba cepat dan efisien, sampai-sampai memunculkan yang dinamakan masakan cepat saji. Namun, selera rupanya susah berubah. Perlahan tetapi pasti, orang semakin merindukan kembali ”masakan rumah”.
Rendang telah menjembatani perubahan zaman….
Source : kompas
0 komentar:
Post a Comment