Tuesday, May 6, 2014

Ironi Keadilan bagi Masyarakat Adat vs Pejabat di Taman Nasional




Empat warga masyarakat adat Suku Semende diapit kuasa hukum

Bengkulu (News Today) - Secara mengejutkan, Kamis (24/4/2014), Pengadilan Negeri Bintuhan, Kabupaten Kaur, Bengkulu menjatuhkan vonis tiga tahun penjara dan denda Rp 1,5 miliar terhadap empat masyarakat adat Semende Banding Agung yang telah lama bertahan di Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). 

Sementara itu, di tempat yang berbeda, hanya berselang beberapa hari sebelumnya, Majelis Hakim Pengadilan Negeri Kutacane, Aceh Tenggara, menjatuhkan hukuman enam bulan penjara dan denda Rp 3 juta, dengan masa percobaan satu tahun kepada tiga pejabat pemkab setempat yang merambah Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL). 

"Pejabat itu artinya tak dipenjara, sementara di Kabupaten Kaur, Bengkulu, sama empat warga adat dituduh merambah TNBBS, namun dikenai penjara tiga tahun dan denda Rp 1,5 miliar. Ironis sekali keadilan berpihak hanya pada pejabat," kata Ketua Badan Pengurus Harian (BPH) Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Bengkulu Defri Tri Hamdi, Selasa (6/5/2014). 

Defri melanjutkan, atas putusan tersebut, AMAN akan melayangkan banding terhadap putusan Hakim Pengadilan Negeri Bintuhan, Kabupaten Kaur, bagi empat masyarakat adat Semende, Provinsi Bengkulu. 

Keempat warga adat itu adalah Hamidi, Heri, H Rahmat, dan Suraji. Masyarakat adat yang dinilai menempati TNBBS secara ilegal melanggar Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H). 

"Kenapa masyarakat adat yang turun-temurun menempati wilayah itu dipenjara tiga tahun dan denda Rp 1,5 miliar, sementara seperti pejabat dan anggota dewan di Aceh hanya hukuman percobaan?" kata Defri.

Defri juga membeberkan kronologi keberadaan masyarakat adat di TNBBS, yang dianggap sebagai perambah. 

Pada 22 Agustus 1891, Pemeritah Hindia Belanda melalui kepala kewidanaan Kaur mengakui Dusun Banding Agung sebagai wilayah Marga Semende Muara Nasal, dengan mengeluarkan surat pengangkatan Depati Dusun Banding Agung. 

Pada 24 Desember 1935, Gubernur Hindia Belanda mengeluarkan surat keputusan Nomor 48 tentang Suaka Margasatwa Sumatera Selatan I. 

Pada 1942, masyarakat Adat Semende Banding Agung meninggalkan Dusun Banding Agung karena penyakit atom (sejenis penyakit cacar menular). 

Pada 1959, masyarakat adat Semende Banding Agung memeriksa kembali wilayah Dusun Banding Agung. Karena terbebas dari penyakit menular, akhirnya mereka kembali lagi ke wilayah itu.

Pada 1982, Menteri Pertanian mengeluarkan surat Nomor: 736/Mentan/1982 yang menetapkan kawasan itu sebagai Taman Nasional. 

Pada 1997–1999, masyarakat adat Semende Banding Agung mulai kembali bercocok tanam di wilayah tanah ulayatnya di Dusun Lame, Banding Agung, wilayah yang saat ini telah berubah status menjadi Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS). 

Pada 2003, masyarakat Adat Semende Banding Agung baru menyadari bahwa wilayah adat mereka dianggap masuk ke dalam kawasan hutan negara karena sosialisasi yang dilakukan oleh aparat TNBBS. 

Pada Juli 2004, UNESCO menetapkan wilayah tersebut sebagai Cluster Tapak Warisan Dunia (Tropical Rainforest Heritage of Sumatra).

Source : kompas

0 komentar:

Post a Comment

Share

Twitter Facebook