Jakarta, Indonesia (News Today) - Selain mengusulkan angka ambang batas jumlah suara minimal penentuan kursi di parlemen (parliamentary threshold) 1,03 persen, Ketua Umum DPP Partai Damai Sejahtera Denny Tewu juga mengusulkan cukup tiga fraksi saja di DPR. Hal itu dimaksudkan untuk mendukung dan memperkuat sistem presidensial.
"Sesuai perhitungan ilmiah dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bahwa di NKRI yang majemuk, di mana masyarakatnya tersebar di berbagai kepulauan secara tidak merata jumlahnya, dan Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, maka PT (parliamentary threshold) yang proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademis adalah 1,03 persen," katanya kepada pers di Jakarta, Minggu (8/4/2012).
Parliamentary threshold (PT) pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. Berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, tidak untuk DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota.
Menurut Denny, untuk mendukung sistem presidensial dapat diperkuat dengan pembatasan fraksi di parlemen, misalnya cukup dengan tiga fraksi saja, yaitu fraksi pendukung pemerintah, fraksi oposisi dan fraksi independen. Fraksi yang sedikit dengan multipartai terbukti sukses dijalankan di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten- kota di seluruh Indonesia tanpa ada masalah yang berarti hingga saat ini.
"Bila tidak disikapi serius maka segala kemungkinan bisa saja terjadi apabila para legislator di Parlemen tidak mampu berperilaku sebagai negarawan dan hanya berpolitik secara transaksional tanpa kejujuran dan semangat nilai ideologi kebangsaan yang melandasi konsep berpikir mereka," katanya.
"Seharusnya, kata dia, partai-partai tengah dan kecil di parlemen menyadari kehancuran mereka sendiri jika merasa puas hanya dengan diberikan "permen" dan ini akan mengancam perasaan kesatuan," katanya.
Denny Tewu juga menilai UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 8 ayat 2 tertuang peserta pemilu tahun 2009 dapat menjadi peserta pemilu berikutnya atau pemilu 2014, tanpa menyebutkan apakah partai tersebut di dalam parlemen atau di luar parlemen. "Kalau dalam revisi UU Pemilu yang otomatis menjadi peserta pemilu hanyalah partai yang di dalam parlemen, jelas itu melanggar hak partai peserta Pemilu 2009, khususnya yang non parlemen," katanya.
Menanggapi pernyataan Ketua Tim Perumus RUU Pemilu Gede Pasek Suardika dalam rapat bersama pemerintah bahwa parpol di parlemen otomatis menjadi peserta pemilu, Denny mengemukakan, kebijakan tersebut sangat tidak tepat, serta telah mendiskriminasikan partai peserta Pemilu 2009 yang nonparlemen yang seharusnya memiliki hak yang sama dengan parpol yang ada di parlemen bila mengacu pada UU Pemilu Nomor10 Tahun 2008 yang sedang direvisi.
"UU Pemilu yang belum direvisi menyebutkan parpol yang ada di parlemen dan nonparlemen seperti PDS memiliki hak yang sama. Jadi apabila hak kami dihilangkan dengan harus mengikuti verifikasi, sementara parpol di parleman lolos otomatis tanpa verifikasi, maka jelas itu hanya menguntungkan sepihak dan jelas sekali sangat diskriminatif dan melanggar asas kepatutan," katanya.
Dia menilai, lambatnya rentang waktu diselesaikannya revisi UU Pemilu karena masing-masing parpol, khususnya yang merasa besar, memiliki strategi untuk tetap bertahan dengan cara menghilangkan partai-partai yang dianggap kecil. Padahal, itu jelas melanggar teori proporsionalitas dan berarti menghilangkan nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika, seperti dalam penetapan PT yang tinggi.
"Sesuai perhitungan ilmiah dari Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) bahwa di NKRI yang majemuk, di mana masyarakatnya tersebar di berbagai kepulauan secara tidak merata jumlahnya, dan Indonesia adalah negara kepulauan terbesar di dunia, maka PT (parliamentary threshold) yang proporsional dan dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah dan akademis adalah 1,03 persen," katanya kepada pers di Jakarta, Minggu (8/4/2012).
Parliamentary threshold (PT) pertama kali diterapkan pada Pemilu 2009. Berdasarkan Pasal 202 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2008 hanya diterapkan dalam penentuan perolehan kursi DPR, tidak untuk DPRD provinsi atau DPRD kabupaten/kota.
Menurut Denny, untuk mendukung sistem presidensial dapat diperkuat dengan pembatasan fraksi di parlemen, misalnya cukup dengan tiga fraksi saja, yaitu fraksi pendukung pemerintah, fraksi oposisi dan fraksi independen. Fraksi yang sedikit dengan multipartai terbukti sukses dijalankan di daerah, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten- kota di seluruh Indonesia tanpa ada masalah yang berarti hingga saat ini.
"Bila tidak disikapi serius maka segala kemungkinan bisa saja terjadi apabila para legislator di Parlemen tidak mampu berperilaku sebagai negarawan dan hanya berpolitik secara transaksional tanpa kejujuran dan semangat nilai ideologi kebangsaan yang melandasi konsep berpikir mereka," katanya.
"Seharusnya, kata dia, partai-partai tengah dan kecil di parlemen menyadari kehancuran mereka sendiri jika merasa puas hanya dengan diberikan "permen" dan ini akan mengancam perasaan kesatuan," katanya.
Denny Tewu juga menilai UU Pemilu Nomor 10 Tahun 2008 Pasal 8 ayat 2 tertuang peserta pemilu tahun 2009 dapat menjadi peserta pemilu berikutnya atau pemilu 2014, tanpa menyebutkan apakah partai tersebut di dalam parlemen atau di luar parlemen. "Kalau dalam revisi UU Pemilu yang otomatis menjadi peserta pemilu hanyalah partai yang di dalam parlemen, jelas itu melanggar hak partai peserta Pemilu 2009, khususnya yang non parlemen," katanya.
Menanggapi pernyataan Ketua Tim Perumus RUU Pemilu Gede Pasek Suardika dalam rapat bersama pemerintah bahwa parpol di parlemen otomatis menjadi peserta pemilu, Denny mengemukakan, kebijakan tersebut sangat tidak tepat, serta telah mendiskriminasikan partai peserta Pemilu 2009 yang nonparlemen yang seharusnya memiliki hak yang sama dengan parpol yang ada di parlemen bila mengacu pada UU Pemilu Nomor10 Tahun 2008 yang sedang direvisi.
"UU Pemilu yang belum direvisi menyebutkan parpol yang ada di parlemen dan nonparlemen seperti PDS memiliki hak yang sama. Jadi apabila hak kami dihilangkan dengan harus mengikuti verifikasi, sementara parpol di parleman lolos otomatis tanpa verifikasi, maka jelas itu hanya menguntungkan sepihak dan jelas sekali sangat diskriminatif dan melanggar asas kepatutan," katanya.
Dia menilai, lambatnya rentang waktu diselesaikannya revisi UU Pemilu karena masing-masing parpol, khususnya yang merasa besar, memiliki strategi untuk tetap bertahan dengan cara menghilangkan partai-partai yang dianggap kecil. Padahal, itu jelas melanggar teori proporsionalitas dan berarti menghilangkan nilai dan semangat Bhineka Tunggal Ika, seperti dalam penetapan PT yang tinggi.
Source : ANT








0 komentar:
Post a Comment